Perasaan Kaku Siang Itu

Lebih dari 3 bulan aku hanya mendapat pesan singkat yang benar benar singkat dari Ringgo. Aku sengaja menunggunya dari jauh dan bersabar jika pekerjaannya segera selesai. Aku yakin Ringgo akan segera kembali seperti Ringgo yang lalu, yang selalu perhatian dan jelas sekali kalau dia sayang denganku.

Aku kembali duduk disini. Kali ini bukan Rani partnerku. Tapi Randy.
"Ahh aku sudah gila memang, mau saja bertemu Randy disini.", lamunku.
"Kalau bertemu Ringgo dan salah paham apa jadinya hubungan kami.", pikirku.
Sisi jahatku kemudian bergejolak.
"Bahkan hampir sebulan ini, pesannya saja bisa kuhitung menggunakan jari. Jadi apa yang aku harapkan dari Ringgo. Mungkin sebentar lagi dia juga akan meminta putus dengan ku.", lamunku.
Sisi baik kemudian menyeruai.
"Tapi ini namanya aku selingkuh dong. Apa bedanya aku sama Ringgo kalau begitu. Sama sama tidak ada lebihnya.", tambahku.
Sudah sebulan ini, Randy cukup intens menghubungiku, mulai dari pesan singkat sekedar menanyakan kabar dan bercerita, atau bahkan sesekali menelponku. Tawaran makan siang ini pun hasil dari bujukan Randy yang sudah hampir dua minggu ini selalu menanyakan kapan aku ada waktu untuk makan siang dengannya. Sampai akhirnya aku menyerah dan mengatakan iya, dan siang ini aku disini. Menunggu Randy.
"Apa lebih baik aku batalkan saja janjiku dengan Randy ya.", pikirku.

Ku buka handphoneku dan kuterima whatsapp dari Randy.
"Jangan pulang dulu ya, Fan. Tiba tiba ada asdosku menanyakan hasil praktikum.", pesan Randy.

Aku tak membalas pesannya dan hanya duduk memegangi gadgetku.
Tak berapa lama kemudian aku ada yang menutup mataku dari belakang.
"Ndy, apaan sih", ucapku ketus sambil memegang tangannya.
Aku tahu betul tangan ini. Aku kemudian sadar dan memaksa membuka mataku yang ditutupi tangan itu. Seketika aku terkejut melihat orang yang selama ini aku tunggu.
"Ringgo", ucapku kaget ketika melihat kebelakang.
Laki- laki itu masih sama, membawa tabung andalannya dan pastinya tas ranselnya yang aku tahu diisi laptop. Seperti sedang sibuk dan terpaksa menghampiriku.
"Sayang, kamu ngapain disini?", tanya Ringgo bingung.
"Aku? Mau makan siang. Kamu udah makan?", tanyaku berusaha santai.

"Aku seperti sedang tertangkap basah selingkuh", pikirku.

"Makan disini? Sendiri?", tanya Ringgo makin bingung sambil melihat jam tangannya.
"Kamu udah makan siang?", tanyaku lagi.
"Kamu ga balas pesanku.", tambahku.

"Iya sayang, maaf, tadi aku ada pembahasan sama mahasiswa terkait praktikum. Jadi sekalian makan siang disini sama mereka.", jawab Ringgo.
"Ohh... gitu", balasku singkat.

"Kamu sendirian? Ga sama Rani?", tanya Ringgo masih sambil melihat jam tangannya.
"Ngga kok.", balasku sambil dari jauh samar melihat Randy sedang berjalan menghampiriku.
"Sayang, maaf aku buru buru karena ada kelas.", ucap Ringgo.
"Nanti malam aku telepon ya. Atau weekend ini kamu sibuk? Boleh aku main kerumah?", tanya Ringgo.
"Boleh kok", jawabku sambil menganguk.
Mataku masih memandangi Ringgo yang masih sibuk dengan dirinya sendiri. Sepertinya tidak ada harapan untuk sekedar makan dan ngobrol dengan Ringgo disini.
"Yasudah, kamu duluan aja. Aku masih ada janji makan siang", tambahku melihat Ringgo tidak tenang.
"Maafin aku yang sayang", balas Ringgo sambil bangkit dan memegang bahuku seakan ragu untuk memelukku.

Aku merasa sakit sekali bahkan merasa asing dengan laki-laki yang aku anggap sebagai kekasihku.
"Apa yang sedang aku lakukan?", pikirku sambil menertawai sinis diriku.

Randy kemudian mendekatiku dan mendapati aku melamun dan terdiam.
"Fan, are you okay?", tanya Randy
"Hah? Randy.", balasku masih kaget.
"Are you okay?", tanya Randy kembali.
"Iya, gw gapapa. Udah pesan makanan?", tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Sini biar aku pesenin, kamu mau pesan apa?", tanya Randy lembut.
"Apa aja boleh. Sama air putih ya", ucapku singkat.

Aku masih shock dengan pertemuan tadi, ditambah lagi kecewa yang membuncah melihat sikap Ringgo yang seperti itu.
Aku hanya bisa diam dan lemas duduk dikursi kantin siang itu.
Tak banyak bicara, bahkan aku ga sadar ketika Randy kembali membawakan 1 piring batagor untukku.
"Fan, kamu yakin gapapa? ga sakit?", tegas Randy.
Akupun sadar kalau aku sedang melamun ketika Randy memegang pundakku.
"Iya gapapa Rand, makasih ya sudah dipesenin batagor.", jawabku ngelantur.

Sepanjang makan siang Randy bercerita banyak tentang kuliahnya, teman temannya dan juga pastinya hobby kami yang sama menonton. Randy teman yang baik dan aku sadar dia bukan hanya mendekatiku sebagai teman.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan pada Randy kalau aku sudah memiliki pacar. Berharap dengan begitu Randy akan menyerah mendekatiku karena dengan begitu aku juga akan berhenti bersikap tidak enak pada Randy.
"Kamu ga mau tanya laki-laki tadi siapa?", tanyaku memotong cerita Randy.
"Memang siapa tadi?", tanya Randy.
"Aku ga suka orang itu. Dia buat kamu jadi kaya begini. Tiba tiba mood kamu drop dan aku butuh extra usaha untuk buat kamu happy lagi.", ucap Randy.

Seketika aku merasa luluh dengan perkataan Randy dan memandangi Randy dalam - dalam.
"Dia Ringgo, pacar aku.", jawabku berusaha tenang.
Aku sudah hampir meneteskan air mata hanya dengan memanggil namanya.

Randy hanya diam mendengar ucapanku. Perbincangan siang itu kemudian menjadi lebih hening dari sebelumnya.
"Aku antar kamu pulang yuk. Kamu kayanya udah cape", ucap Randy.
"Rand, aku udah punya pacar. Kenapa kamu masih sebaik ini? Aku ga mau kamu salah sangka", balasku.
"Kamu aku antar pulang ya, aku ga mungkin biarin kamu begini pulang sendiri.", ucapnya tegas.
"Please, kali ini aja dengerin aku.", tambah Randy.

Akupun menuruti permintaan Randy kemudian mengikuti Randy menuju mobilnya. Aku duduk dibangku kiri dan Randy dengan tenang menyetir dibangku kanan.

Perjalanan menuju rumahku hanya berisi arah jalan. Selebihnya kami hanya diam dan fokus pada diri sendiri. Terutama aku yang fokus pada kejadian tadi bersama Ringgo.

"Okay sudah sampai, Princess", ucap Randy berusaha memecah keheningan.
"Thanks ya..", ucapku tidak ingin memperpajang pembicaraan dengan Randy.

"Fan", tiba tiba tangan Randy memegang tanganku ketika aku akan turun mobil.
"Please, be happy. Kalau kamu butuh aku kabarin aku ya.", ucap Randy.
"Aku bakalan bantuin kamu kok, sebagai teman", tambah Randy meyakinkan.
"Thanks ya Rand", balasku singkat.
"Hati hati di jalan", tambahku sambil keluar dari mobil.

Aku berdiri didepan pagar sampai mobil Randy menghilang. Akupun berpikir ulang, apakah aku benar memperlakukan Randy seperti tadi.
"Pasti setelah ini Randy akan menjauh, dan aku juga akan lebih tenang, tanpa takut dicurigai atau ditanya macam macam oleh Ringgo.", pikirku sambil memasuki rumahku.

Akhirnya aku berpikir untuk istirahat, dan masih berharap kalau nanti malam Ringgo akan menelpon seperti janjinya.

Sore hari kudapati pesan singkat dari Randy.
"Aku ga bakalan nyerah sama kamu, Fan. You deserve better than him. That might be me.", pesan Randy.

Kubaca pesan itu dan kudiamkan tanpa ku balas.

Selesai makan malam bersama mama, kupegang terus handphoneku berhadap Ringgo menepati janjinya untuk menelpon. Mulai dari mengerjakan tugas, sholat, hingga pagi saat aku sadar ketiduran, tak ada 1 missed call atau pesan dari Ringgo.

"Sampai kapan lagi aku bisa bertahan Go", pikirku lirih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Learning Technologist? Apa itu?........................Part 1

3 Rekomendasi Buku yang Mengubah Pola Pikir dan Bagaimana Menjalani Hidup

Pagi dengan Hati yang Merindu......